Selasa, 19 Juni 2012

Surat Untuk Allah

Saking bingungnya menghadapi persoalan hidup, seorang hamba Allah terperangkap gang buntu kehidupan. Maju, tak ada harapan. Mundur, malu menghadang. Rasanya sudah tidak punya muka untuk minta tolong ke tetangga, karena sudah sering memberikan pertolongan. Sudah takut minta bantuan saudara, sebab sudah sering membantu. Mau nekat menghabisi hidup masih ragu. Namun, usaha tidak tembus – tembus. Gagal dan gagal lagi.

Doa siang - malam, belum juga terkabul. Tahajud belum mulus seperti yang diharapkan. Ikhtiar tak kenal lelah. Sayang, hidup seolah tidak pernah berpihak kepadanya. Tak ada perubahan. Sedangkan kebutuhan dan persoalan terus datang dan datang lagi seperti matahari. Hanya satu yang masih membuatnya bertahan. Kepercayaannya kepada Allah belum luntur. Masih ada, walau hanya seperti secercah cahaya di gulita malam.


Dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa ditimpa kesulitan, lalu dia mengadukannya kepada manusia, maka kesulitan itu tidak teratasi. Barangsiapa ditimpa kesulitan, lalu mengadukannya kepada Allah, maka Allah segera memberinya rejeki cepat atau lambat.” (Rowahu Abu Dawud, at-Tirmidzi, dia berkata; Hadits Hasan Shahih Gharib.)

Di ujung keputus-asaan yang mendera, terbersit ide yang tidak biasa. Nyleneh, walau sejalan hadits di atas. Tak tembus dengan doa, tak terjangkau dengan tahajud, tak jebol dengan ikhtiar, terpikir olehnya untuk berkirim surat untuk mendapatkan perhatian Allah. Mengadu hanya kepadaNya. Segera dia ambil pena dan secarik kertas. Mungkin dengan cara begitu, akan tuntas persoalan hidupnya. Tetapi bagaimana memulainya? Di mana alamatnya? Terus berkecamuk dalam benaknya.

Dorongan yang kuat membuat tangannya serasa dituntun menggerakkan pena menulis kata hatinya secara runtut. Singkat, padat dan langsung ke sasaran. Pikiran – pikiran lainnya terbuang begitu saja. Persoalan harus segera terselesaikan.

Kepada Allah Yth.

Sudah lama saya hidup begini, di bawah garis kemiskinan. Sudah lama saya hidup bergelut dengan penderitaan. Namun atas pertolonganMu, saya masih bertahan. Masih sabar menjalani semuanya. Hanya untuk keperluan biaya kelahiran istri, semoga Engkau memberikan kami uang secukupnya. Rasanya Rp 500 000 sudah cukup. Eh, tidak Rp 300.000,- pun sudah cukup, gak papa. Ya, itu saja.

Ttd

HambaMu yang setia.
Di kolong langit - Jln X nomer Y Kota Z.

Kemudian surat itu dilipat ke dalam amplop dengan rapi dan dimasukkannya ke kotak surat terdekat. Di amplop hanya ditulis besar – besar “Kepada Allah di Tempat.” Tanpa perangko. Tanpa alamat pengirimnya.

Laksana gayung bersambut, surat tersebut diambil dan disortir oleh tukang pos. Tidak dibuang. Rupanya destinasi surat itu menjadi daya tarik tersendiri. Pak Pos jadi bingung karena ada satu surat yang tidak masuk ke dalam boks pengelompokan surat. Dan dia pun kaget, demi melihat tulisan“Kepada Allah di Tempat.” Mau membukanya ingat kode profesi. Mau mengembalikan tak ada alamat pengirim. Setelah menimbang - nimbang sejenak, akhirnya dia berinisiatif mengantar surat itu ke kantor polisi, yang ada di sebelah. Siapa tahu isinya mengenai teroris atau hal yang membahayakan lainnya.

Pak Polisi pun mengalami hal yang sama – kaget – seperti yang dialami Tukang Pos. Namun karena pengaduan dan penjelasan Tukang Pos akan keamanan, maka Pak Polisi segera membuka surat itu. Kalau memang membahayakan biar segera ditindaklanjuti. Memang surat ini termasuk mencurigakan. Tak ada alamat pengirim. Dan alamat yang dituju penuh tanda tanya. Siapa sih yang tahu alamat Allah? Dengan permufakatan bersama, surat itu dibuka oleh Pak Polisi disaksikan oleh Pak Pos dan rekan polisi lain yang kebetulan ada di situ.

Dengan penuh kehati-hatian surat itu dibuka. Ujung surat digunting, setelah ditimang – timang sebagai daerah aman. Tidak akan kena kertas suratnya. Kemudian kertas surat dikeluarkan. Lipatan dibuka sehingga tampak keseluruhan kertas surat tersebut. Segera mata Pak Polisi menelusuri barisan kata – kata itu dari atas sampai bawah, sambil menahan nafas. Dan dengan melepas nafas lega, Pak Polisi segera memberitahukan isi surat kepada Tukang Pos dan rekan polisi lain yang setia menunggu.

“Alhamdulillah, ternyata hanya aduan biasa. Seseorang yang butuh duit untuk biaya melahirkan istrinya,” kata Pak Polisi.  Semuanya lega.

“Ada yang tahu di mana alamat ini?”

Pak Pos menjawab, “Oh, saya tahu Pak ancer - ancernya. Itu memang daerah terbelakang. Daerah tertinggal. Dekat jembatan.”

“Baiklah kawan – kawan, mari kita patungan untuk menyumbang si Bapak ini. 500 ribu cukuplah,” sambung Pak Polisi. Dan mereka pun patungan hingga terkumpul uang sejumlah itu. Atas saran dan petunjuk Pak Pos, dan sambil bertanya kesana – kemari Pak Polisi mengantarkan uang sumbangan tersebut kepada si pengirim surat.

“Apa betul Bapak yang mengirim surat ini?” kata Pak Polisi sambil menunjukkan surat di tangannya.

Sebelum menjawab, hamba Allah tersebut bingung bukan kepalang. Wajahnya pucat. Tangannya gemeteran. Selain bingung juga takut setengah mati berhadapan dengan polisi. Dalam hatinya dia berkata; “Kenapa suratnya bisa nyasar ke Pak Polisi? Apa kata tetangga, kenapa dia didatangai polisi? Apa urusannya? Kan saya berkirimnya kepada Allah? Dan saya sering diusir – usir Polisi. Bagaimana ini?”

Sementara si hamba Allah masih berkutat dengan pikirannya, Pak Polisi segera meletakkan surat itu di depan dia dan segera undur diri. Tak ada yang terucap sepatah kata pun dari mulut si hamba tersebut. Dia masih terpaku. Tenggelam dalam keheranannya.

Setelah sadar dari keterkagetannya, dipungutlah surat itu. Rasanya lebih berat dari aslinya dulu. Dan dia pun segera membukanya. Surat itu masih lengkap dengan kertas awalnya, hanya sekarang di dalamnya ada Rp 500.000 seperti yang dia minta. Maka ucapan syukur pun meluncur dari mulut kecilnya; ‘Alhamdulillah,,, Alhamdulillah,, Alhamdulillah,,,,,,!!!!  Engkau telah membalas suratku’. Namun, tiba – tiba dia tersadar. Mungkin karena citra polisi selama ini dan perspektif yang dibentuk di dalam dirinya, sontak dia menggerutu; “Ya Allah kenapa engkau berikan permintaanku lewat Polisi? Padahal Engkau tahu bagaimana Polisi itu?..!”

Cerita di atas hanyalah rekaan semata. Begitulah cerita hidup. Kadang terjadi hal-hal tak terduga. Karena manusia memang penuh reka daya. Orang Jawa bilang pepeko. Sudah ditolong, malah berprasangka. Penginnya hidup itu ya nlisir. Lempeng. Eunak terus! Dari awal sampai akhir. Lahir di istana, muda kaya – raya, tua foya – foya dan mati masuk surga. Pol. Itu maunya yang hidup. Sengsara, ogah. Menderita, jangan. Susah, no. Sedangkan yang punya hidup punya skenario lain.

Karena sikap seperti itu, maka sering kita terbelenggu. Hidup jadi tidak indah, katanya. Banyak orang tidak siap menerima scenario yang jelek. Akhirnya mengambil jalan pintas. Ada yang mengakhiri hidup. Ada yang ke dukun. Mendatangi orang pintar. Semua untuk mengusir kesusahan. Padahal kesusahan, kesulitan itu pasti akan datang dan menjumpai semua orang. Tinggal kadarnya yang berbeda. Ada yang besar, ada yang kecil. Dan tergantung bagaimana meresponnya.

Allah berfirman : “Dan demikian itu hari (kemenangan dan kekalahan) Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imron 140 – 141)

Itulah misteri hidup! Dan setiap hamba akan mendapat predikat seiring bagaimana ia menguak misteri itu. Ada kalanya masuk dalam kategori iman, ada kalanya masuk dalam katagori sebaliknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar